Oleh : Asikin Chalifah, RULIT WASKITA BREBES.
Selain persoalan yg terkait dengan alih fungsi lahan, persoalan lain yg dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan di bidang pertanian adalah menurunnya kualitas sumberdaya lahan pertanian. Sekitar 70 persen dari lahan baku pertanian seluas 7,1 juta hektar saat ini diketahui memiliki kandungan bahan organik yg sangat rendah, yakni rata-rata di bawah 5 persen. Degradasi sumberdaya lahan dan air secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena terpapar oleh penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yg dilakukan secara terus menerus dan berlangsung lama karena penerapan cara-cara pemupukan yg tidak berimbang. Kondisi lahan-lahan pertanian yg tidak sehat sudah barang tentu akan menyebabkan rendahnya produktivitas dan produksi hasil pertanian, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi atau menghambat pencapaian target swasembada pangan.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian RI selama ini sesungguhnya telah mengantisipasi dengan memberikan bantuan pupuk organik bersubsidi pada petani dan fasilitasi penyediaan unit-unit pembuatan pupuk organik di berbagai daerah di Indonesia (UPPO). Untuk mengurangi ketergantungan pada pemberian pupuk organik bersubsidi yg kapasitas produksinya masih jauh dari memadai, sebaiknya petani diberikan kemampuan dan pendampingan oleh Penyuluh Pertanian dalam pembuatan pupuk organik terutama yg berbasiskan pada sampah organik dan limbah pertanian. Peningkatan kemampuan dan pendampingan oleh Penyuluh Pertanian sangat penting agar petani perorangan maupun yg terhimpun dalam kelembagaan petani dapat menghasilkan pupuk organik yg sesuai dengan SNI. Potensi penyediaan sampah organik di Indonesia sangat besar, karena dari sekitar 65 juta ton sampah yg dihasilkan dalam kurun waktu setahun, 60 persennya merupakan sampah organik, selebihnya adalah sampah plastik dan sampah-sampah lainnya. Barangkali yg sangat penting dan sebagai kunci keberhasilan dalam pembuatan pupuk organik yg berbasiskan pada penyediaan sampah organik adalah membangun kesadaran (awareness) masyarakat untuk membiasakan diri memilah dan mengumpulkan sampah sesuai jenisnya di tingkat rumah tangga atau dari sumbernya.
Pembuatan pupuk organik dari sampah organik dan limbah pertanian dapat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya yg selama ini sudah terbiasa dipraktekkan adalah dengan menggunakan starter mikro organisme yg berfungsi untuk mendekomposisi sampah organik menjadi pupuk organik hasil fermentasi (PORASI). Starter mikro organisme dalam bentuk larutan dengan beragam merek dagang dan penggunaan, saat ini dengan mudah dapat ditemui dan dibeli di toko-toko penjualan sarana produksi pertanian. Cara lain dalam pembuatan pupuk organik adalah dengan menggunakan peran dari maggot (larva) lalat tentara hitam atau biasa disebut dengan pasukan lalat hitam (Black Soldier Fly/BSF). Praktek pembuatan pupuk organik dari sampah organik dengan menggunakan maggot BSF sesungguhnya sudah berlangsung lama dan berkembang hampir di berbagai daerah di Indonesia terutama di sentra-sentra pengolahan sampah atau di TPS-3R. Maggot BSF adalah larva dari Black Soldier Fly atau dalam bahasa latin disebut dengan Hermetia illucens, merupakan salah satu jenis lalat yg memberikan manfaat pada manusia, setidak-tidaknya sebagai solusi dalam mengatasi menggunungnya sampah-sampah organik. BSF berbeda dengan lalat hijau yg selama ini diketahui sebagai vektor penyakit pada manusia yg hinggap dan bertelur pada tumpukan-tumpukan sampah atau bangkai-bangkai hewan. Pembudidayaan maggot BSF relatip tidak sulit, tidak memerlukan ruangan yg luas dan tidak memerlukan waktu yg lama serta sangat prospektif. Dengan mengolah sampah organik dan limbah pertanian dengan memanfaatkan peran maggot BSF, selain akan menghasilkan pupuk organik dalam bentuk kompos residu bekas sampah yg diolah oleh maggot (KAS GOT), juga sekaligus membesarkan maggot itu sendiri yg memiliki protein hewani cukup tinggi yg sangat baik sebagai bahan pakan ikan dan ternak. Kajian dari seorang pembudidaya maggot BSF di Bogor menyebutkan bahwa setiap hari dari 10 kilogram sampah organik dalam kotak seluas 1 meter persegi dapat diolah oleh maggot sebanyak 5 gram atau setara dengan 140 ribu ekor larva. Durasi pemeliharaan dan pembesaran maggot adalah selama 5-7 hari efektif dengan rentang waktu 15-17 hari setelah telut menetas yg dianggap cukup untuk menghasilkan maggot dengan kandungan protein hewani yg paling baik. Dari sampah organik sebanyak 300 ton dengan teknologi biokonversi akan dihasilkan maggot sebanyak 10 persen (20-40 persen protein), KAS GOT 20 persen, frassa 5 persen dan pupuk cair sebanyak 5 persen. Hasil penjualan budidaya maggot termasuk yg dikeringkan untuk bahan campuran pakan ternak, ikan dan hewan peliharaan dapat dianggap sebagai pendapatan sampingan yg secara finansial bisa jadi lumayan besarnya.
Selain sampah organik, selama ini sektor pertanian memberikan limbah organik seperti limbah dari industri kelapa sawit dan tanaman-tanaman lainnya yg sangat memadai untuk menjadikan petani di Indonesia secara mandiri dapat menyediakan pupuk organik (KAS GOT) dan maggot untuk kebutuhan budi daya tanaman, ternak dan ikannya sendiri serta dijual sebagai hasil sampingan. (KASONGAN, Bantul, 16 Februari 2020)